MAKASSAR, MEDIATA.id-“Sepuluh kali kita bicara, tidak terlalu diingat tapi satu goresan seorang penulis akan abadi, apalagi jika punya nilai sejarah,” begitu disampaikan Mohammad Hasan, SH, MH, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan.
Dia menyampaikan hal itu saat membuka Seminar dan Bedah Buku Novel “Noni Societeit de Harmonie” karya Yudhistira Sukatanya di Hotel Gammara, Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, Senin, 17 Februari 2020.
Menurut Mohammad Hasan, acara diskusi dan bedah buku itu bukan semata-mata merupakan momen bagi penulisnya tapi juga merupakan momen historis bagi bangsanya. Itu sebabnya, kata dia, profesi penulis perlu dihargai karena mereka membuat karya yang terus dapat dibaca, dipelajari, dan diwariskan bagi generasi selanjutnya.
Mohammad Hasan juga menyampaikan rencana Festival Aksara Lontaraq, pertengahan tahun ini. Tujuannya, untuk mengangkat harkat, martabat dan gengsi masyarakat Bugis Makassar. Karena tidak banyak bangsa-bangsa di dunia yang punya aksara sendiri.
Dikatakan, aksara itu menunjukkan budaya dan peradaban suatu bangsa. Dia berencana akan menjadikan aksara lontaraq sebagai tulisan yang jadi penunjuk layanan publik sehingga lebih memasyarakat. Pada kesempatan itu, dia juga menyampaikan rencana Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang akan menggelar Jambore Literasi di Kabupaten Bantaeng.
Pada sesi diskusi buku, Yudhistira Sukatanya, mengungkap proses penulisan novelnya, yang ditulis dalam kurun 4 tahun. Prosesnya relatif lama. Karena ketika novel ini mulai dikerjakan, dia masih disibukkan dengan urusan-urusan dinasnya di Radio Republik Indonesia (RRI). Setiap kali dia menulis, sering dia membagikan file-file tulisannya itu ke beberapa sahabatnya. Jadi kalau filenya hilang, dia minta kembali ke sahabatnya itu.
“Prosesnya cukup lama, lantaran saya berpindah dari satu kota ke kota lain. Pernah di Natuna, Ternate, dan di Bengkulu,” tutur pendiri Sanggar Merah Putih dan Sinergi Teater Makassar itu.
Yudhistira mengaku termotivasi menyelesaikan karyanya itu karena rancangan novelnya mendapat respons yang baik dari para sahabatnya. Termasuk membantu memberinya data-data sejarah yang menjadi latar novelnya, dan soal penggunaan bahasa Belanda.
“Saya berharap, novel seperti ini akan jadi cara menarik untuk kita belajar sejarah,” kata lelaki yang banyak menulis naskah dan menyutradarai pementasan teater ini.
Pembicara dalam kegiatan ini, selain penulis novelnya, Yudhistira Sukatanya, juga Dr. Asis Nojeng (akademisi, seniman) dan Rusdin Tompo (penulis, pegiat literasi). Diskusi dipandu oleh Bachtiar Adnan Kusuma, seorang penulis, yang dikenal luas sebagai penggerak literasi.
Rusdin Tompo memuji stamina dan semangat yang dimiliki oleh penulis novel “Noni Societeit de Harmonie”, karena telaten menelisik sejarah Makassar. Menurutnya, sebagai penulis, mesti punya visi dan ideologi yang akan dikontribusikan bagi masyarakat. Pembelajaran yang diberikan penulis, lanjut Rusdin, yakni pentingnya data sebagai aset bagi seorang penulis, termasuk dalam melahirkan karya sastra. Dia mencontohkan sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer yang memasukkan aspek sejarah dan kondisi sosial politik bangsanya, seperti dapat dibaca dalam tetralogi Pulau Buru.
Menurut Dr Asis Nojeng, sebuah karya sastra harus dilihat dari faktor-faktor di luar sastra yang memperkaya kualitas sebuah karya sastra. Realitas sosial, nilai budaya dan sejarah, termasuk di dalamnya. Khusus novel “Noni Societeit de Harmonie”, banyak pembelajaran nilai budaya yang dihadirkan, seperti siri’, macca atau caradde, dan pangngederreng. Nilai-nilai dan karakter Bugis-Makassar banyak ditampilkan dalam novel tersebut.
Budayawan Prof. Nurhayati Rahman, yang hadir dalam acara diskusi buku, melihat pesan utama tentang kemanusiaan yang hendak disampaikan oleh penulis dalam novelnya. Menurut Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin (Unhas) ini, tema utama kemanusiaan tersebut yang akan dikenang abadi.(*)
Comment