MAKASSAR,MEDIATA.id-Pojok baca itu bukan sekadar pajangan. Bukan cuma memperhatikan penataan desain yang indah tapi juga bagaimana mengelola dan memanfaatkannya,” begitu pesan Fahmawati, S.Pd, Kepala SD Negeri Kompleks Sambung Jawa kepada guru-guru dari Gugus III Kecamatan Mamajang, Makassar, Rabu, 5 Februari 2020.
Fahmawati melanjutkan, sekolahnya membuat kegiatan literasi, melalui pojok baca karena ada temuan soal masih relatif rendahnya minat baca siswa. Padahal, kondisi ini akan berdampak pada luaran mutu pendidikan. Karena itu, dia menganggap perlu melakukan pelatihan untuk guru supaya atensi dan kompetensi para guru meningkat. Sehingga, akan memotivasi anak didiknya untuk memiliki tradisi membaca.
“Saya senang dan berterima kasih, karena ada pojok baca yang pembuatannya melibatkan orangtua,” kata Fahmawati memberi apresiasi.
Para guru dari Gugus III Kecamatan Mamajang itu berasal dari SD Negeri Kompleks Sambung Jawa, sebagai tuan rumah, SD Inpres Sambung Jawa 1 dan 3, serta SD Negeri Tanggul Patompo 1 dan 2. Sohrah M., S.Pd, Kepala SD Inpres Sambung Jawa 1 juga hadir di antara peserta. Kegiatan menghadirkan Nuraeni Amir, S.Pd, konsultan literasi dari Sekolah Literasi Indonesia (SLI) Dompet Dhuafa dan Rusdin Tompo, fasilitator Sekolah Ramah Anak (SRA) dan pegiat literasi.
Nuraeni Amir menjelaskan, ada beberapa penyebab anak tidak tertarik membaca. Bisa karena koleksi buku yang sedikit dan tidak menarik atau kegiatannya yang monoton. Selain itu, cara penataan dan tempat yang kurang nyaman.
“Kalau kami, di Sekolah Literasi Indonesia, disarankan memajang buku bergambar yang disesuaikan dengan usia anak,” kata wanita yang akrab disapa Bu Eni itu.
Nuraeni Amir lalu menyarankan supaya buku yang ada di pojok baca tak hanya buku-buku tematik, karena bisa membosankan anak. Mereka akan mengatakan, bacaannya itu-itu saja. Dia juga menyarankan agar buku-buku yang dipajang mudah terlihat dan dijangkau anak, serta pentingnya pencatatan dan program untuk membangun pembiasaan membaca. Untuk menambah koleksi buku, bisa melalui kegiatan hibah dan wakaf buku, baik oleh siswa dan orangtua atau dari Balai Bahasa Provinsi Sulsel.
Rusdin Tompo berbagi pengalaman sebagai orantua dalam mendekatkan anak pada buku dan kebiasaan membaca, serta pengalamannya berinteraksi dengan anak-anak di beberapa sekolah. Rusdin, yang dikenal sebagai aktivis dan penulis itu mengatakan, buku harus dihidupkan dalam imajinasi dan pengalaman riil anak-anak. Buku yang hanya berupa teks dan gambar perlu dibawa dalam konteks sosial anak-anak. Sehingga akan menarik minat anak pada buku dan kegiatan membaca.
Dia mencontohkan beberapa cara kreatif yang bisa dilakukan. Misalnya, mengajak anak membuat kaligrafi atau menulis guote menarik dari bacaannya. Mengajak anak menggambar dari gambar-gambar yang ada di buku, bila ada tugas menggambar.
“Ini supaya gambar anak tak hanya berupa dua gunung dengan matahari di tengah, serta jalan lurus yang membentang di tengah sawah,” paparnya.
Rusdin melanjutkan, bisa juga dengan mengajak anak bercerita, berdiskusi atau membuat resensi dari apa yang mereka sudah baca. Cara kreatif lain, yakni mempraktikkan apa yang mereka baca, seperti membuat kue dan memasak dari buku resep, membuat kerajinan dan prakarya, mencari jenis tanaman yang ada di buku dan lain-lain. Untuk mengetahui buku-buku seperti apa yang diminati, ajak anak ke toko buku lalu minta mereka sendiri memilih buku yang disukai.
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan yang dilakukan siang hingga sore itu, Nuraeni Amir, merekomendasikan membuat sudut baca dari bahan daur ulang. Sedangkan Rusdin mendorong guru berproses bersama murid-muridnya. Jadi, bukan hanya murid yang diajak membaca dan melakukan kegiatan kreatif di pojok baca. Tapi, guru-guru juga menulis pengalamannya mengembangkan pojok baca.
“Dari tulisan-tulisan itu bisa berfungsi sebagai laporan, sekaligus bisa dikemas menjadi buku,” papar Rusdin berbagi tips dan trik.(*)
Comment